Fenomena yang Mempengaruhi Iklim di Kalimantan Selatan

Kandangan, BPBD Kab. HSS Jum’at 30 Desember 2022

Sumber Bacaan : http://iklim.kalsel.bmkg.go.id

Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah tropis, di antara Benua Asia dan Australia, di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta dilalui garis khatulistiwa, terdiri dari pulau dan kepulauan yang membujur dari barat ke timur, terdapat banyak selat dan teluk, dikelilingi oleh luasnya lautan menyebabkan wilayah Indonesia rentan terhadap variabilitas iklim. Faktor pengendali variabilitas iklim yakni adanya interaksi antara atmosfer, lautan, dan daratan. Lautan memiliki peranan penting terhadap kondisi atmosfer berkaitan dengan sifat fisis air laut yang berupa fluida, mempunyai kapasitas panas yang besar, dan albedo yang kecil. Perubahan kondisi parameter laut di Samudra Hindia maupun Samudra Pasifik berpengaruh terhadap kondisi atmosfer di atas Indonesia, khususnya di Kalimantan Selatan.

Faktor-Faktor Pengendali Curah Hujan

Curah hujan di Indonesia merupakan unsur iklim yang penting karena bervariasi antar wilayah dibandingkan dengan yang lainnya. Curah hujan rata-rata tahunan bervariasi menurut tempatnya, khususnya bagi Kalimantan Selatan yang terletak di tengah-tengah Indonesia. Faktor fenomena global dari bagian Timur seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO) yang bersumber dari wilayah Ekuator Pasifik Tengah dan dari bagian barat yaitu Indian Ocean Dipole (IOD) yang bersumber dari wilayah Samudera Hindia barat Sumatera hingga timur Afrika (Gambar 1). Keragaman iklim juga dipengaruhi oleh fenomena regional, seperti sirkulasi angin monsun Asia-Australia, Daerah Pertemuan Angin Antar Tropis atau Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang merupakan daerah pertumbuhan awan, serta kondisi suhu permukaan laut sekitar wilayah Indonesia (Gambar 2). Kondisi topografi wilayah Indonesia yang memiliki daerah pegunungan, berlembah, banyak pantai, merupakan topografi lokal yang menambah beragamnya kondisi iklim di wilayah Indonesia, baik menurut ruang (wilayah) maupun waktu.

Geografis Kalimantan Selatan dan Kondisi Lokal Hujan

Provinsi Kalimantan Selatan secara administrasi terdiri dari 11 Kabupaten dan dua kota. Secara geografis berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur di utara, Provinsi Kalimantan Tengah di barat, serta Selat Makassar di timur dan Laut Jawa di selatan. Dari 13 kabupaten/kota tersebut, lima kabupaten dan satu kota di antaranya merupakan wilayah yang memiliki pulau-pulau kecil, yakni Kabupaten Barito Kuala, Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru, serta Kota Banjarmasin.

Menurut web https://kalselprov.go.id/ Kalimantan Selatan berada di bagian tenggara pulau Kalimantan, memiliki kawasan dataran rendah di bagian barat dan pantai timur, serta dataran tinggi yang dibentuk oleh Pegunungan Meratus di tengah. Kalimantan Selatan terdiri atas dua ciri geografi utama, yakni dataran rendah dan dataran tinggi. Kawasan dataran rendah kebanyakan berupa lahan gambut hingga rawa-rawa sedangkan kawasan dataran tinggi sebagian masih merupakan hutan tropis alami.

Daerah-daerah yang terpisah oleh dataran tinggi pegunungan Meratus ini memiliki kecenderungan terdapat sebaran curah hujan yang berbeda. Efek bendung pegunungan Meratus terhadap sebaran curah hujan yang berbeda dengan membagi 2 daerah yaitu sektor kiri (sebelah barat pegunungan Meratus) dan sektor kanan (sebelah timur pegunungan Meratus) (Fitriani dan Saputra, 2011). Pengaruh angin timur dari lautan membentuk awan orografi pada bagian timur pegunungan Meratus yang berada di tengah-tengah Kalimantan Selatan. Fenomena ini menyebabkan kawasan di pesisir pantai tenggara Kalimantan Selatan cenderung lebih banyak terjadi hujan dan lebih basah. Kab. Tanah Bumbu sampai ke perbatasan Tanah Laut merupakan daerah bercurah hujan tinggi. Kondisi geografis di daerah tersebut berbeda dengan daerah lain di Kalimantan Selatan. Spesifikasi di wilayah tersebut dikelilingi pegunungan Meratus yang menghambat laju angin sehingga membuat pertumbuhan awan berpotensi hujan mudah terjadi. Saat pergerakan angin di Kalimantan Selatan berasal dari wilayah tenggara, kecepatan tak begitu kencang sehingga angin timur tersebut tak mampu melewati pegunungan Meratus. Akibatnya awan berpotensi hujan terjebak di wilayah tersebut. Hal itulah yang menyebabkan tipe hujan di daerah timur pegunungan Meratus berbeda dengan di bagian baratnya.

Kondisi global dan regional juga mempengaruhi curah hujan di Indonesia. Adapun faktor-faktor global dan regional yang menjadi pengendali curah hujan di Indonesia dan Kalimantan Selatan adalah :

Monsun Asia dan Australia

Monsun adalah penentu utama iklim di Indonesia. Iklim monsun atau musim adalah iklim yang terjadi karena pengaruh angin monsun yang berganti arah tiap setengah tahun sekali. Angin monsun bisa mengakibatkan terjadinya musim hujan dan kemarau di Asia Tenggara, Indonesia dan juga Kalimantan Selatan. Wilayah Indonesia terletak di antara 2 benua (Asia dan Australia) dan di antara 2 samudera (Pasifik dan Hindia). Indonesia termasuk ke dalam wilayah monsun yang ditentukan oleh indeks monsun.

Proses pergerakan arah angin permukaan tersebut secara berkala yang saling berkebalikan,  yang berdampak terhadap perubahan curah hujan yang disebabkan perbedaan pemanasan dalam skala luas antara dua wilayah yang berdekatan dimana periode yang satu dengan yang lainnya memiliki pola arah angin yang saling berlawanan. Dapat dilihat pada Gambar 5.

Angin Monsun Barat atau Monsun Asia merupakan pergerakan angin utara dan baratan yang kaya dengan uap air/basah yang berdampak wilayah Indonesia memasuki musim hujan, Periode Desember-Februari.

Angin Monsun Timur atau Monsun Australia merupakan pergerakan angin selatan/tenggara dan timuran yang identik dengan udara kering yang berdampak wilayah Indonesia didominasi musim kemarau, Periode Mei-Oktober.

Indeks Monsun Asia (WNPMI : Western North Pacific Monsoon Index), secara klimatologis/rata-rata periode 30 tahunan arah angin dapat digambarkan seperti grafik klimatologis indek monsun, nilai indek negatif menggambarkan arah dari Asia memasuki wilayah Indonesia dan sebaliknya nilai indek positif
menggambarkan arah keluar dari Indonesia menuju Asia/ke utara.

Indeks Monsun Australia (AUSMI : Australia Monsoon Index), secara klimatologis arah angin dapat digambarkan seperti grafik klimatologis di atas. Nilai indeks negatif menggambarkan arah angin timuran/ dari timur, sedangkan nilai indek positif menggambarkan arah angin baratan/ dari barat.

Karena pengaruh monsun Asia dan Australia, menyebabkan variasi iklim secara musiman dan bergantian di Indonesia.

ENSO (El Nino – Southern Oscillation)

ENSO adalah fenomena iklim global yang diukur berdasarkan kondisi naik atau turunnya suhu permukaan air laut Samudera Pasifik di sekitar equator bagian tengah dan timur dari kondisi normalnya.

Peristiwa El Nino dan La Niña (keduanya disebut sebagai ENSO) didorong dengan peristiwa yang terjadi di Samudera Pasifik sekitar equator bagian tengah dan timur. ENSO dapat dikategorikan menjadi tiga fase. Ketiga fase tersebut yaitu fase Normal, fase El Nino dan fase La Niña.

Saat keadaan Normal, disebut juga fase netral saat tidak terjadi kejadian La Niña atau El Nino. Dalam kondisi normal, angin pasat (trade winds) berhembus secara konstan ke arah barat dari kawasan Pasifik timur sepanjang ekuator (Gambar 7). Hembusan angin pasat ini dikenal sebagai Sirkulasi Walker timuran, yang menghasilkan juga arus laut mengarah ke barat. Pasifik barat tropis lebih hangat daripada Pasifik timur, akibatnya angin equatorial berhembus ke arah barat membantu konveksi di Pasifik barat dan subsidensi di Pasifik timur. Pada fase ENSO netral atau normal, suhu muka laut, pola hujan kawasan tropis dan sirkulasi atmosfer berada dalam kondisi rata-ratanya.

Pada keadaan normal, sirkulasi ini ditandai oleh dua fenomena alam. Pertama, kenaikan udara di Samudera Pasifik bagian barat dekat Indonesia. Saat fase netral bagian bawah atmosfer aliran udara bergerak dari timur ke barat. Sedangkan yang kedua, penurunan udara di Samudera Pasifik bagian timur lepas pantai Amerika Selatan. Pada bagian atas atmosfer, aliran udara bergerak dari barat ke timur, karena adanya konvergensi pada area laut yang hangat di barat Pasifik. Konvergensi tersebut mendorong pembentukan hujan pada kawasan tersebut termasuk Indonesia. Sirkulasi Walker ini digambarkan sebagai tekanan jungkat-jungkit yang disebut Osilasi Selatan. Fase normal berarti menandakan tidak adanya anomali atas suhu muka laut dari daerah barat dan timur Samudera Pasifik. Kondisi normal ini juga mendorong terjadinya upwelling atau kenaikan air laut yang dingin dan kaya nutrisi di Pantai Utara Pasifik, Amerika Selatan.

Saat La Niña, peristiwa anomali iklim yang ditandai dengan terjadinya penurunan (pendinginan) suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur atau suhu udara (disebut juga sebagai fase dingin ENSO). Angin Pasat yang bertiup dari timur ke barat menguat maka di Pasifik Timur suhu muka laut menjadi lebih dingin. Adanya kekosongan massa air laut yang berpindah ke barat, diisi oleh massa air laut yang lebih dingin dari bagian bawah lautan Pasifik Timur. Saat La Niña aliran dari timur ke barat lebih kuat dibandingkan saat fase netral. Pendinginan suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur ini mengurangi potensi pertumbuhan awan di sana dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum.

Saat El Nino, peristiwa anomali iklim yang ditandai dengan terjadinya peningkatan suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur (disebut juga sebagai Fase hangat ENSO). Angin Pasat yang bertiup dari timur ke barat melemah. Melemahnya angin Pasat timur karena meningkatnya suhu di Pasifik bagian timur. Di Indonesia curah hujan cenderung berkurang, sementara di Samudera Pasifik tropis bagian tengah dan timur curah hujan cenderung meningkat. Fase El Nino memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum.

Untuk memonitoring fenomena ENSO digunakan beberapa indeks, yaitu ONI (Oceanic Nino Index) dan SOI (Southern Oscillation Index). Oceanic Nino Index (ONI) didasarkan pada Suhu Permukaan Laut (SPL) dari rata-rata di wilayah Nino 3.4 (Gambar 9), sedangkan penentuan indeks SOI didasarkan pada perbedaan tekanan udara permukaan laut antara Tahiti dan Darwin (Gambar 1).

IOD (Indian Ocean Dipole)

IOD merupakan fenomena naik atau turunnya suhu permukaan laut di wilayah Samudera Hindia, perbandingan antara wilayah perairan Timur Afrika dengan perairan selatan ekuator Indonesia bagian barat. Selisih perbandingan Indeks/Gradien antar dua lokasi ini dinamakan sebagai Dipole Mode Index (DMI). Bila nilai DMI positif maka, fenomena tersebut dianggap sebagai IOD positif dan bila nilai indeksnya negatif, maka hal itu dianggap sebagai IOD negatif. IOD memiliki 3 fase yaitu fase netral, fase positif dan fase negatif. Fenomena IOD ini merupakan interaksi antara atmosfer dan lautan yang menyebabkan variabilitas iklim antar tahunan di Samudera Hindia dan mempengaruhi iklim daerah sekitar Samudera Hindia.

Dua daerah yang menunjukkan anomali suhu permukaan laut terletak di ekuator bagian tenggara Samudera Hindia di sekitar Sumatera dan selatan Jawa yang disebut sebagai Southern Tropical Indian Ocean (SETIO) dan juga ekuator tropis bagian barat Samudera Hindia yang disebut juga Western Tropical Indian Ocean (WTIO).

Fase positif IOD ditandai dengan suhu permukaan laut dingin di perairan timur Samudera Hindia dan hangat di perairan barat Samudera Hindia (Gambar 10). Sebaliknya, pada saat fase negatif IOD ditandai dengan suhu permukaan laut dingin di perairan barat Samudera Hindia dan hangat di perairan timur Samudera Hindia (Gambar 13).

IOD netral terjadi Sirkulasi Walker di bagian dekat permukaan akan mengalir dari Samudera Hindia ke atas perairan Indonesia karena suhu muka lautnya sedikit lebih hangat.

IOD positif terjadi apabila suhu muka laut Samudera Hindia Barat lebih besar daripada suhu muka laut Samudera Hindia Timur. Kondisi tersebut menimbulkan angin timur bergerak kuat ke Samudera Hindia Barat, sehingga curah hujan di Afrika berada di atas normal, sementara di Indonesia di bawah normal. Fase positif IOD ditunjukkan oleh nilai indeks yang berada lebih dari +0,35. Fase positif dari fenomena IOD ini berdampak pada kekeringan di Indonesia bagian barat, Australia dan sekitarnya, diakibatkan rendahnya curah hujan yang diterima (termasuk di Kalimantan Selatan). Sementara, proses konveksi yang biasanya terjadi di atas Samudera Hindia bagian timur yang menghangat bergerak ke arah barat menyebabkan peningkatan hujan di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat.

IOD negatif terjadi apabila suhu muka laut Samudera Hindia Barat lebih kecil daripada suhu muka laut Samudera Hindia Timur. Kondisis tersebut menimbulkan angin barat bergerak kuat ke Samudera Hindia Barat, sehingga curah hujan di Afrika berada di bawah normal, sementara di Indonesia di atas normal. Fase negatif dari fenomena ini ditunjukkan oleh nilai indeks yang kurang dari -0,35. Fase negatif dari IOD berdampak pada curah hujan yang tinggi di sekitar wilayah timur Samudra Hindia seperti Indonesia bagian barat dan Australia (termasuk di Kalimantan Selatan). Hal itu disebabkan oleh meningkatnya suhu air di permukaan laut di wilayah perairan selatan Indonesia dan perairan barat laut Australia, sehingga menyebabkan evaporasi yang tinggi di wilayah perairan tersebut dan berakibat tingginya tingkat curah hujan di wilayah Indonesia dan Australia.

Penjelasan rincinya dapat dilihat di video berikut ini :

Anomali Suhu Permukaan Laut (SST : Sea Surface Temperature)

Suhu permukaan laut adalah suhu pada ketinggian milimeter di atas permukaan laut. Anomali suhu permukaan laut adalah perbedaan suhu laut di suatu lokasi pada waktu tertentu dengan suhu normal tempat itu. Suhu permukaan laut yang diamati di sekitar Kalimantan Selatan yang diindikasikan berpengaruh bagi curah hujan antara lain di Laut Jawa dan Selat Sulawesi.

Suhu permukaan laut diasosiasikan sebagai indeks banyaknya uap air pembentuk awan di atmosfer.
Jika suhu permukaan laut panas maka uap air di atmosfer banyak akibat proses konveksi atau penguapan. Sebaliknya, jika suhu permukaan laut dingin maka uap air di atmosfer menjadi berkurang akibat kurangnya penguapan

Anomali positif di sekitar Kalimantan Selatan diberikan warna merah yang memberikan dampak terhadap potensi penambahan tingkat penguapan di wilayah tersebut, menunjukkan potensi peningkatan hujan. Sedangkan, nomali negatif diberi warna biru yang berkorelasi dengan rendahnya tingkat penguapan yang berdampak rendah, menunjukkan potensi hujan yang lebih kecil.

Sumber :

https://www.climate4life.info/2018/11/memahami-fenomena-enso-el-nino-dan-la-nina.html diakses 29 September 2022

https://id.wikipedia.org/wiki/Sirkulasi_Walker diakses 26 September 2022

https://iridl.ldeo.columbia.edu/maproom/ENSO/ENSO_Info.html diakses 29 September 2022

http://iklim.bali.bmkg.go.id/2019/12/04/memahami-fenomena-enso-el-nino-dan-la-nina/ diakses 26 September 2022

https://kalselprov.go.id/ diakses 26 September 2022

http://simtaru.kalselprov.go.id/web/album_peta/1/semua/desc/ diupdate 26 September 2022

Fitriani, R. N. dan Saputra, A. H., 2017. Efek bendungan pegunungan Meratus terhadap sebaran curah hujan di Propinsi Kalimantan Selatan periode 2009-2012https://stamet.syamsudinnoor.bmkg.go.id/artikel-efek-bendung-pegunungan-meratus-terhadap-sebaran-curah-hujan-di-provinsi-kalimantan-selatan-periode-tahun-2009—2012-4 diupdate 03 Oktober 2022

SALAM TANGGUH SALAM KEMANUSIAAN – BPBD Kab. HSS

2 Comments on “Fenomena yang Mempengaruhi Iklim di Kalimantan Selatan

  1. I just came to this blog for the first time, and I am very interested in the information presented, I will come back another time

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *